Apa pun polah yang pernah ditoreh oleh awak Slank, tak mengurangi kepopuleran band ini di hati penggemarnya. Rasa hormat bahkan mengental di hati penggemar ketika personel band ini berusaha membebaskan dirinya dari jeratan narkoba. Slank tetap dicintai dan dihormati. Gambaran itulah yang kemudian tampak dalam film dokumenter Metamorfoblus yang memotret ikatan misterius antara Slank dan Slankers, penggemar fanatiknya.
Film sepanjang 98 menit ini dibuka dengan memotret sosok seorang polisi, Brigadir Supriadi, yang bertugas di Pulau Batam. Supriadi, yang akrab dipanggil Joker, merupakan penggemar Slank sejak di sekolah dasar tahun 1990. Joker kemudian bahkan sampai memiliki bukti kartu anggota Slankers keluaran Potlot. Semangat Slank yang mengedepankan perdamaian rupanya menjadi semangat bagi Joker dalam menjalankan tugasnya sebagai polisi, yang dekat dengan kekerasan.
Sutradara Dosy Omar memotret kondisi Slank pada masa pasca-kebebasan Slank dari jeratan narkoba. Dengan demikian, kondisi sebelumnya tidak tergambar di sini, kecuali melalui tuturan dari personelnya, seperti Bimbim dan Kaka. Demikian pula gambaran kondisi dari para Slankers.
Meski tak menampakkan kondisi masa lalu yang merepresentasikan gagasan metamorfosis secara lebih nyata, emosi yang tergambar dari para Slankers yang bercerita tentang masa lalu dan masa sekarang cukup menyentuh.
Digambarkan, misalnya, Andi (29), seorang Slankers di Bantul, Yogyakarta, yang sempat terjerat narkoba mengikuti lakon hidup personel Slank. Andi yang kini juga telah sembuh merasa amat dihargai ketika personel Slank dan Bunda Iffet (ibu dari Bimbim yang kini menjadi manajer Slank) mengirim surat kepadanya untuk berusaha sembuh dari jeratan narkoba. Andi akhirnya lolos dan sembuh. Dan, itu menjadi momen kebahagiaan baru bagi seluruh keluarganya.
Pak Poniran, ayah Andi, pun demikian bahagia dan bersyukur. Ketika Slank menggelar konser di Yogyakarta, sang ayah berupaya keras untuk menemui Bimbim dan Bunda Iffet demi sekadar mengucapkan terima kasih. Metamorfosis yang dijalani oleh Slank juga berimbas di kalangan penggemarnya. Tampak jelas, betapa nilai-nilai yang dijunjung idola bisa begitu merasuk di diri para penggemarnya. Tak hanya soal narkoba, tetapi juga nilai-nilai positif lainnya, seperti yang selalu diteriakkan Slank (dalam bahasa Inggris): peace, love, unity, and respect.
Film dokumenter ini memang lebih banyak memotret sepenggal kehidupan para Slankers yang diwakili dari Batam, Bantul, Kupang, hingga Timor Leste. Momen konser Slank di Timor Leste juga menggambarkan betapa band ini masih mampu meretas keterpisahan politis menjadi keterhubungan emosi di antara rakyat Indonesia dan Timor Leste dengan sama-sama mencintai Slank. ”Pulau Biru”, salah satu tembang fenomenal Slank, seolah menggambarkan mimpi di benak para Slankers di Timor Leste dan NTT.
Pengambilan gambar film dokumenter ini telah berlangsung sejak tahun 2008, bersamaan dengan produksi film Generasi Biru. Dari berbagai stockshot yang masih tersimpan ketika itu kemudian dipilah dan digarap tuntas menjadi Metamorfoblus.
Film dokumenter ini nantinya akan diputar secara gerilya di gedung-gedung alternatif di berbagai kota di Indonesia, bukan gedung bioskop. Rumah Pohon Indonesia, yang memproduseri film dokumenter ini, ingin menghadirkan film bagi seluruh kalangan di Indonesia, tanpa bergantung kepada pemilik modal besar.
Berbagai lokasi dapat dijadikan sarana untuk memutar film, di antaranya gedung sekolah, tanah lapang, gedung olahraga, gedung bioskop yang telah tak terpakai, kampus, kineklub, komunitas-komunitas, hingga perkebunan-perkebunan. sumber: http://koran.kompas.com/read/2010/10/24/04434667/ikatan.misterius.slank.dan.slankers
Komentar